Sudah kali ke-entah aku bolak-balik area dapur hari itu. Buka kulkas dan minum air dingin walau sebenarnya tenggorokanku tidak haus sedikit pun.
Mood bapak terlihat cukup bagus, sepertinya.
Waktu yang tepat untuk ngajak ngobrol.
-
"Gak bisa.. aku degdegan", kataku ke Alvin.
"Ayok.. pasti bisa yok!", jawabnya meyakinkanku.
-
Dari kecil aku memang kurang dekat & jarang komunikasi sama bapak. Di rumah hanya ngomong seadanya (dan seperlunya) saja. Sepertinya tidak pernah ada dalam agenda, kami ngobrol berdua membahas hal serius atau sekadar ngobrol ringan berdurasi lama -seingatku.
Setelah lama mengulur waktu dan membuang kesempatan dari beberapa hari sebelumnya, sekarang harus segera terbahas. Maka dengan segenap keberanian melawan kecanggunganku sendiri, aku pergi ke kamar beliau.
"Pak.. Putu sama Alvin mau ngobrol sebentar"
"Mau ngobrol apa?", kalimatnya bertanya tapi mukanya senyum nyengir seperti udah tahu duluan.
"Yaa.. biasa lah hehehe", jawabku yang ngga nyambung menutupi kebingungan.
-
Akhirnya terbahas juga. Mengalir. Walau agak awkward.
3 manusia yang gak biasa basa-basi, gak pernah ngobrol bareng, tiba-tiba duduk lesehan yang berbentuk titik segitiga sembarang, ngobrolin hal serius.
-
"Ya gapapa, kalau udah saling cinta ya sudah. Gak ada masalah", lontaran kalimat ini berkali-kali kami dengar.
-
And here we go now, nyicil nyelesaiin daftar hal yang harus diurus. Kami belum punya deadline, cuma sepakat kalau 70% dari daftar sudah siap, baru deh nentuin tanggal pasti. Karena kami ngga mau (yah, meminimalisir) jadi bridezilla, berantem ngurusin hal begini apalagi sama-sama masih kerja sehingga alokasi waktu untuk ngurusin perintilan ini harus dicicil.
-
"Gak usah stress mikirinnya, jalanin aja sedikit-sedikit daripada berantem" - pesan dari bapak.